Thursday, December 31, 2009

Raport anak kita, bagaimana dengan raport kita?

Raport anak kita, bagaimana dengan raport kita?

Tahun pengajaran 2009/2010, semester pertama berakhir telah berakhir, ditandai dengan sebelumnya sekolah menyelenggarakan ulangan umum bersama atau ulangan semester dan dilanjutkan dengan pembagian raport sebagai tanda berakhirnya semester yang telah dijalani. Pembagian raport menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian orang tua, ada yang mensikapinya dengan cemas, ada yang biasa saja dan ada pula orang tua yang telah “siap” dengan hasil raport anak, bahkan ada yang tidak peduli dengan momen tersebut.

Guru pun juga menantikan hari special ini, ada yang telah punya rencana akan berlibur, ada yang akan menyiapkan rencana pembelajaran disemester berikutnya, bahkan ada pula yang tidak peduli selama ada buku paket atau modul. Tapi tidak sedikit pula guru yang segera melakukan pemetaan dan evaluasi atas nilai-nilai yang dicapai oleh murid-murid disemester pertama ini untuk perbaikan-perbaikan disemester kedua dalam hal pendekatan dan pengajaran, agar hasil yang didapat peserta didik atau anak-anak kita lebih baik dari semester pertama.

Anak-anak pun juga menantikan hari pembagian raport pastinya. Dengan segala antusiasmenya mereka ingin mengetahui hasil yang didapat dari mengikuti pengajaran dalam semester pertama. Beberapa anak ada yang berharap-harap cemas akan nilainya, adapula anak-anak yang tidak peduli dengan hasil raport dan ada anak-anak yang sudah merasa yakin akan mendapat nilai baik, tetapi banyak anak yang nothing to lose akan hasil yang akan didapat, tidak berharap apa-apa.

Raport, jika boleh dikatakan adalah bagian dari profil tentang orangtua, sekolah, guru dan anak-anak kita. Agar profilnya bagus bukan berarti kemudian dengan mudah guru akan memberikan nilai royal kepada seluruh anak agar dapat dikatakan sekolah yang bagus, guru yang hebat, anak yang baik dan orang tua yang baik. Disini tentunya ada proses, bagaimana komunikasi anak dengan orang tuanya, bagaimana guru memberikan pengajaran kepada muridnya, bagaimana kebijakan sekolah dengan segala dinamikanya dan bagaimana dengan anak-anak kita sendiri yang sampai saat ini masih merupakan objek dari produk pendidikan.

24 Desember 2009, tiga orang anak saya menerima raport. Sejak awal sebagai orang tua, saya mengatakan kepada anak-anak adalah “anak-anakku bukan nilai sempurna yang abi dan ummi mau, dan tidak harus kalian menjadi juara kelas , tapi abi dan ummi akan bangga jika nilai yang kalian dapat adalah atas hasil usaha belajar kalian dan tidak harus mendapat nilai 10 sepanjang kamu mendengarkan dan mengerti apa yang gurumu ajarkan dan bertanya apabila ada yang belum kalian mengerti”. Disini sepertinya saya tidak mendorong anak untuk menumbuhkan motivasi berprestasi, karena saya ingin motivasi tersebut datang dari mereka dan saya berharap mereka dapat mengambil keputusan untuk dirinya yang akan tergambar dalam nilai-nilai sementara di raportnya karena hasil sesungguhnya adalah masa depannya yang harus mereka pilih berdasarkan kesadaran dan keinginan serta bakat yang dimilikinya. Alhamdulillah sepanjang mereka bersekolah saya bangga dengan hasil yang didapat oleh anak-anak saya meski mereka bukan juara kelas tapi dari narasi raport yang ditulis oleh gurunya menggambarkan bahwa anak-anak saya secara umum dapat mengikuti pelajaran yang diajarkan.

Raport dalam sudut pandang orang tua adalah hasil evaluasi guru terhadap anak. Sehingga kadang orang tua mensikapinya dengan dengan berbagai bentuk seperti saya sebutkan diatas. Orang tua yang telah “siap” dengan hasil belajar anak, adalah orang tua yang bisa menerima apapun yang tertera dalam raport anak, apakah semua nilainya baik atau ada beberapa nilai yang masih kurang. Tinggal semangat untuk memotivasi anak dalam mempertahankan nilai yang sudah baik dan memperbaiki nilai-nilai yang belum tercapai atau melampaui standar ketuntasannya. Matematika biasanya yang difokuskan oleh orang tua, sedangkan pelajaran lain banyak sekali orang tua yang tidak memperhatikannya. Hal ini disebabkan matematika merupakan salah satu pelajaran yang akan di-uji secara nasional bersama bahasa indonesia dan sain untuk sekolah dasar dan bahasa inggris untuk sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.

Kecemasan orang tua terhadap hasil yang didapat anak bisa juga merupakan kecemasan dirinya yang tanpa sadar sebenarnya merupakan bagian dari pertanyaan dalam diri orang tua, bagaimana hasilnya? Apakah saya sudah maksimal mendampinginya belajar? Atau apakah gurunya sudah maksimal memberikan pengarajaran? Bagaimana dia belajar dirumah dan disekolah? Tapi kadang setelah raport diterima orang tua hanya sambil lalu saja dan bahkan tidak pernah mengevaluasi lebih lanjut atas hasil yang didapat anak. Bahkan ada pula orang tua yang cukup menandatangani daftar hadir pengambilan raport kemudian melihat nilai rapaort anak didepan guru tanpa komentar dan dan pertanyaan tentang anak, baik hasil raportnya maupun bagaimana anak dalam mengikuti pelajaran dikelas atau disekolah dan pergaulan bersama temannya. Kemudian pulang.

Setelah raport diterima, sampai dirumah disimpan dan tidak pernah kita mendiskusikannya bersama anak kita, atau memberikan pujian kepada anak apabila hasilnya baik. Hendaknya kita sebagai orang tua coba mencermati mana-mana dari banyaknya mata pelajaran yang telah dicapai dengan baik dan mana yang belum dicapai, untuk kita memberikan dorongan kepada anak kita agar semester selanjutnya dia akan mencapai hasil yang baik. Bahkan dari raport pula kita bisa melihat dimana kecerdasan anak kita. Howard Gardner dalam Multiple Inteligent memetakan ada 9 aspek kecerdasan dalam diri manusia, yaitu, Kecerdasan : (1) gambar/Visual; (2) interpersonal; (3) kinestetik/body-kinesthetic; (4) Bahasa/Verbal Linguistic; (5) Mengenal diri sendiri/Intrapersonal; (6) Musik/Musical Intelligence; (7) Alam/Naturalist; (8) Logika Matematika/Mathematic; (9) Spiritual/Existential. Mana-mana dari sembilan aspek kecerdasan tersebut yang dimiliki anak kita? Sudahkah kita minimal mengamatinya? Sudahkah kita memberi ruang untuk kecerdasan-kecerdasan tersebut berkembang maksimal bagi anak-anak kita? Apakah semua anak harus memiliki kecerdasan tersebut? Perlu diingat bahwa setiap anak mempunyai keunikan tersendiri, setiap anak berbeda dan setiap anak pasti mempunyai kelebihan masing-masing yang telah Allah takdirkan untuk mereka.

Pujian dan motivasi sangat diperlukan oleh anak, bukan tekanan dan paksaan bahwa anak harus mendapatkan semua nilai dengan hasil baik. Tidak ada anak yang sempurna tapi yakinlah bahwa semua anak bisa dan semua anak pasti juara. Gardner lebih lanjut mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai sembilan aspek kecerdasan dengan kadar yang bervariasi serta komposisi kecerdasan yang berbeda disetiap manusia dan seluruh aspek kecerdasan tersebut berada pada bagian otak yang berbeda yang dapat bekerja secara sendiri-sendiri atau bersamaan.

Pada saat saya menunggu gilran untuk dapat mengambil raport anak saya, ada orang tua yang mengeluhkan nilai-nilai anaknya terutama matematika. Ibu itu mengatakan bahwa dia lelah dan menyerah dengan anaknya, tidak tahu apa lagi yang akan dia perbuat. Saya tidak tahu apa yang ada dipikiran anak saya, pak? Kenapa hasilnya tidak bagus? Les matematika sudah, privat dengan berbagai macam metode matematika sudah, memanggil pakar matematika sudah, apa yang kurang coba pak? Bahkan anak ini sudah mulai berbohong, bilangnya les ternyata tidak, dia ini inginnya main dan saya tidak tahu siapa saja temannya. Ayahnya dulu selalu juara kelas bahkan sampai mendapat beasiswa kuliah keluar negeri. Saya dan ayahnya ingin memindahkannya kesekolah lain saja pak, bu.

Orang tua ini (mohon maaf) mungkin lupa bahwa pelajaran disekolah bukan hanya pelajaran matematika masih ada pelajaran-pelajaran lain dan kecerdasan lainnya yang dimiliki anak yang tidak diketahui oleh orang tuanya. Disisi lain ibu itu menyatakan kebanggaannya kepada anak tesebut bahwa anak anak tersebut secara visual sangat menonjol, dan banyak teman, minimal anak tersebut sudah mempunyai lebih banyak kecerdasan dari pada matematika yang menjadi momok bagi orang tua.

Waduh kalo ibu menyerah, bagaimana dengan anak ibu? Kemudian banyak pertanyaan muncul dalam benak saya, Sudahkah kita mendoakannya? Bagaimana keakraban kita sebagai orang tua? Sehangat apa kita dirumah? Sedekat apa dan bagaimana komunikasi kita dengan anak? Dan banyak pertanyaan lainnya yang berkelebat dalam fikiran saya.
Kemudian saya (sebagai orang tua dan juga school of director disekolah ini) dan gurunya mendiskusikan sebentar tentang anak tersebut bersama orang tuanya. Pada dasarnya, dalam sudut pandang saya tidak ada yang salah dengan anak ini, begitu juga gurunya. Bahkan sekolah beserta gurunya sudah melakukan pendekatan secara personal tentang anak ini, tapi memang anak tersebut belum terbuka, baik dengan gurunya atau dengan guru lain yang diminta membantu permasalahan anak tersebut. Sekolah bahkan sudah menjadwalkan untuk melakukan obsevasi secara personal bersama psikolog sekolah tentang anak ini, termasuk orang tua nya juga akan dijadwalkan. Setelah ibu tersebut pulang, saya dan gurunya mendiskusikan bahwa ada nilai-nilai pelajaran lain yang hasilnya baik, yang belum sempat dilihat oleh orangtuanya karena terbatasnya waktu pengambilan raport. Dan mungkin juga ada harapan-harapan yang besar dari orang tua terhadap anak tersebut agar seperti ayahnya, dan satu hal anak tersebut juga sedang dalam masa menuju masa pubertasnya.

Beberapa catatan dari pembicaraan ini mudah-mudahan menjadi pengayaan yang akan membantu “permasalahan” yang akan segera di follow up oleh konsultan pendidikan anak tersebut disekolah sekaligus bahan evaluasi saya sebagai orang tua dan school of director IQRO’.

Raport...raport..raport! mengapa menjadi momok bagi sebagian orang tua? Adakah yang salah dengan raport? Mengapa selalu anak yang menjadi fokus pertanyaan dari raport? Bagaimana dengan kita sebagai orang tua? Sudahkah kita memeriksa dan mengamati raport kita sendiri? Sudahkah kita memberikan raport untuk guru dan sekolah anak-anak kita? Ternyata bukan hanya raport anak kita yang harus kita cermati tapi bagaimana raport kita sendiri sebelum kita mencermati raport anak kita, raport guru dan sekolah anak kita.

Jakarta, 31 Desember 2009.

Tuesday, December 29, 2009

Wahai Para Ibu


Wahai Para Ibu

Wahai para ibu...
Janganlah kau menyerah
Kami akan mendukungmu
Selalu......

Ibu...kaulah yang melahirkan aku
Dan mengasuhku hingga besar
Kukan slalu menyayangimu
Oh..ibuku

Ibu...kau yang selalu yakin dan berani
Untuk aku dan dirimu.....selamanya.


Puisi dan lagu ini adalah karya dari anakku, Syadzaa Amalia yang berumur 8 tahun. Saat ini duduk dikelas tiga Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) IQRO’ Bekasi. Puisi dan lagu ini adalah sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya, istriku, yang tanggal lahirnya bertepatan dengan hari ibu, 22 Desember.

Saya coba mendiskusikannya bersama Amel , demikian kami sekeluarga biasa memanggilnya. Ada hal –hal dari ruang afirmatifnya yang begitu menakjubkan untuk saya. Dilihat dari usianya mungkin belum terbayang jika kata-kata tersebut adalah renungan dan perasaannya.

Wahai para ibu....., kenapa para ibu, Mel?....ya karena ulang tahun ummi kan sama dengan hari ibu, jadi aku buat ini untuk semua ibu juga.

Janganlah kau menyerah....., kenapa semua ibu tak boleh menyerah, Mel? Karena aku mau semua ibu tidak menyerah dalam mendidik anak-anaknya Bi, soalnya kan anak-anak biasanya suka rewel, bandel, suka malas, kadang gak mau nurut apa kata orang tua, pokoknya semua deh Bi yang anak-anak lakukin suka ada aja yang mebuat orang tua sedih. Jika tak salah tangkap dari kata-katanya, mungkin Amel akan menggambarkan bahwa untuk semua ibu jangan menyerah dalam mendidik anak-anaknya, dengan segala tingkah polah dan emosinya seorang anak. Kesabaran dan doa seorang ibu sangat diharapkan oleh anak, agar tidak ada kata menyerah dalam memberikan bimbingan dan meluapkan rasa cinta bagi anaknya. Jika kesabaran, doa, cinta dan kasih sayang telah dilipmphkan oleh para ibu kepada anaknya, maka justru anak tersebut akan mendukungnya dengan merubah segal tingkah polah yang kadang membuatnya bersedih, ....dalam kalimat selanjutnya Amel menulis, ..kami akan mendukungmu, selalu......dan tentunya dengan perasaan cinta, sayang dan perbuatan seorang anak yang menjadi harapan orang tuanya.

Ibu...kaulah yang melahirkan aku........, Betapa besar arti seorang ibu yang telah berjuang dalam proses melahirkan anak-anaknya, begitu mulianya ibu bagi anak-anaknya. Tak tergantikan dengan apapun bahkan tak juga dapat ditukar dengan limpahan materi tetap tak ada yang dapat menggantikan rahiim ibu. Anak akan senantiasa menyayangimu.

Dan mengasuhku hingga besar....., Asuhan ibu bukan hanya pada saat anak masih dalam buaian. Asuhan ibu bahkan sampai beliau menutup mata. Tak pernah ada ada kata lelah darinya dalam mengasuh anak-anaknya, buah cintanya, dan amanah serta anugerah dari NYA. Hingga anak-anak akan selalu menyayangi oh...ibu.

Ibu..kau yang selalu yakin dan berani....., tak pernah ada kata ragu dari seorang ibu dalam mengasuh dan mendidik serta membersarkan anak-anaknya. Meskipun kesulitan kadang membelenggu tetapi ibu tetap yakin dan berani untuk membersarkan anak-anaknya. Karena ibu senantiasa berdoa kepadaNYA, bahwa ibu yakin akan sayangNYA kepada dia dan anak-anaknya, sehingga kekurangan atau hambatan tidaklah harus ditagisi tapi dihadapi. Jika ada seorang anak sukses maka akan terlihat dukungan ibu dibelakangnya. Dia tak pernah ingin tampil didepan tapi selalu anak-anaknya yang akan dikedepankan untuk menyongsong kebahagian dan kegembiraan dari masa kecil hingga dewasa kelak. Apa yang telah dilakukan oleh seorang ibu adalah untuk anak-anaknya dan untuk dirinya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Dari puisi dan lagu yang diciptakan oleh Amel, saya jadi teringat tentang apa yang dikatan oleh Tony Buzan bahwa anak kita adalah seniman yang sangat kreatif. Hargai hasil karya mereka karena mereka memiliki kekayaan perspektif bagi karya-karya agungnya.

Terimakasih kami untukmu Syadzaa Amalia.
Ummi, Abi, Mas Alif dan Mbak Salma selalu mendukung dan menyayangimu. Selalu......
Teruslah berkarya dengan segenap imajinasi yang kau punyai, agar mimpi-mimpimu untuk kuliah seni di Prancis tercapai. Doa kami selalu untukmu.

We Love U, Syadzaa Amalia.

Kuala Lumpur, 30 Desember 2009

Sunday, December 27, 2009

Where is my father gone?


Where is my father gone?

Kesibukan kadang memang sering kali memenjarakan kita, tanpa kita sadari atau bahkan kita sendiri enggan beranjak dari kesibukan itu sendiri. Seringkali kesibukan-kesibukan kita dalam mengejar materi ataupun juga immateri yang lainnya justru memangkas waktu kita bersama orang-orang terdekat kita, baik orang tua, kakak, adik, istri dan anak-anak kita. Atas nama kesibukan, interaksi yang hanya sekedar “say hello” berjalan tanpa kesan dan makna.

Suatu hari, seorang sahabat bertutur kepada saya tentang 3 orang anaknya yang menuntut waktunya untuk lebih banyak bersama mereka. Teringat akan kisah Dewi dari blognya Ayah Edi, saya tag kisah tersebut melalui jejaring facebook, tidak lama kemudian dia menulis dikotak surat saya tentang perasaannya yang tiba-tiba kosong dan menangisi apa yang selama ini ternyata begitu juga adanya dengan kisah tersebut, meski tidak berakhir sama dengan Dewi. Berikut saya kutip sebagian dari isi suratnya.

“.......aku akan segera pulang!, ....akan aku peluk mereka dalam dekapanku malam ini dan malam-malam selanjutnya. Aku akan ajak anak dan istriku bermimpi bersama tentang cinta dirumahku, akan aku lepaskan waktuku yang sibuk tak menentu untuk bisa mendekap mereka dalam dadaku, karena aku tahu mereka adalah anugerah terindah dari NYA untukku. Aku harus pulang, aku tak ingin terlambat”.

Where is my father gone?
Sebaris kalimat tanya yang seringkali hinggap dipikiran anak-anak kita. Kemana ayahku pergi selama ini?, bekerjakah? Apakah memang bekerja itu membutuhkan waktu yang sangat lama? Tak sempatkah ayah berisitirahat untuk pulang sejenak tanpa rasa lelah agar bisa bermain bersama anak-anaknya?, atau mungkin untuk duduk bersama ibu mengajarkan kami pelajaran sekolah yang belum kami mengerti? Kemana ayahku pergi selama ini?

Pertanyaan sederhana tersebut sulit sekali kita menjawabnya. Terkadang bukan hanya kerja yang menghabiskan waktu kita, tetapi waktu untuk bersosialisasi atau bertemu hanya sekedar ngupi bersama teman atau relasi juga kita lupa akan waktu, padahal alangkah nikmat dan bahagianya bisa ngupi dirumah bersama anak dan istri. Tetapi seringkali dorongan untuk berlama-lama diluar lebih besar dan mengasyikan dibandingkan melakukan hal yang sama bersama keluarga dirumah atau mengajak mereka keluar rumah.

Mencari nafkah memang kewajiban seorang kepala keluarga. Tapi bukan berarti kita tidak dapat mengukur apa yang badan kita butuhkan untuk diri sendiri, banyak hal jika kita tak lagi dapat mengukur kebutuhan diri kita maka kita juga tidak bisa mengukur kebutuhan orang lain ataupun keluarga kita. Semakin banyak kita lalai kepada diri kita sendiri maka semakin banyak pula kita lalai kepada kebutuhan keluarga kita dan orang lain.

Manakala kita, para lelaki dewasa yang akan memasuki jenjang pernikahan, tanpa sadar kita sudah mulai terkungkung dengan sebuah pertanyaan tentang bagaimana kita mencari materi untuk dapat membahagiakan anak dan istri kita, sehingga waktu kita dihabiskan hanya untuk mengejar sesuatu yang diukur oleh materi. Tapi apakah itu yang mereka minta? Pernahkah kita bertanya seberapa banyak materi yang istri dan anak kita minta? Jika ya, jawaban yang akan kita kita terima juga akan berbeda dengan apa yang sudah kita siapkan, dan meraka akan menjawab bahwa keberadaan kita dirumah adalah segalanya bagi mereka. Family is everything. Jika kita belum sempat bertanya, maka renungkan kembali kesibukan-kesibukan kita yang menghabiskan waktu begitu banyak untuk segera kembali kerumah, pilah kembali mana yang memang menjadi waktu bekerja dan mana waktu yang seharusnya kita ada bersama mereka.

Where is my father gone?....sebenarnya pertanyaan ini juga mengusik saya. Saya kembali berfikir akan masa-masa yang sampai saat ini begitu banyak saya habiskan diluar rumah, bahkan anak saya dulu pernah meminta saya untuk menyisihkan waktu bersama dalam satu hari saja. Abi, please............................satu hari saja Abi ada dirumah. Tapi begitu ada dirumah saya lupa bahwa ada istri dan anak-anak saya, sehingga waktu dirumah saya pergunakan untuk tidur, baca koran, buka email, makan, tidur bahkan kembali asyik mengerjakan pekerjaan kantor dirumah dan pada akhirnya ada penolakan dari anak-anak kepada saya,......mendingan abi kerja aja deh! Dari pada dirumah abi hanya makan, tidur saja. Sekali lagi saya telah lalai terhadap hak mereka atas saya.

Hal ini karena ketidak siapan kita mungkin juga saya untuk segera membangun cinta dan sayang yang selama ini mungkin saja tak pernah terfikirkan oleh kita karena kesibukan kita mencari materi guna membuktikan cinta kita dengan hal tersebut.
Ada banyak hak istri dan anak kita kepada kita, misalnya saja komunikasi , perhatian dan sentuhan yang menjadi hak meraka, sudahkah kita penuhi? Jika sudah maka kita akan siap menjawab pertanyaannya yang sederhana dengan penuh cinta dan sayang, semakin banyak waktu kita bersama mereka dengan aktivitas cinta dan sayang, maka akan semakin berkualitas hidup kita, termasuk kehidupan spirtual dalam rumah tangga kita. Dalam Al Qur’an ada banyak firman Allah yang mengingatkan kita akan pentingnya waktu dan keluarga. Sudahkah kita mentaddaburinya?

Semoga kita bisa megelola waktu yang telah diberikan kepada kita oleh NYA menjadi golden time dalam aktivitas kehidupan kita, baik untuk beribadah, berkeluarga dan bekerja dengan karya-karya terbaik karena cinta dan sayang dari NYA, keluarga serta orang-orang disekitar kita.

Robbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wakinna adzabannar.



Syamsudin
Kuala Lumpur, 28 Desember 2009

Anak belajar dari kompetisi.

Belajar dari kompetisi.

Kompetisi atau sering kita menyebutnya dengan pertandingan, dalam dunia orang dewasa maupun dunia anak, berkompetisi dalam suatu petandingan sangat menyenangkan. Selain dapat menjadi yang terbaik maupun menjadi sarana fun dan menumbuhkan kebersamaan. Pada dasarnya kompetisi banyak mempunyai manfaat yang dapat mengajarkan kepada anak akan berbagai hal yang dapat menumbuhkan sikap positif.

Bimbingan guru dan orang tua sangat dibutuhkan oleh anak dalam berkompetisi. Karena bimbingan akan memberikan arahan yang jelas, manfaat dari berkompetisi serta para pembimbing yakni orang tua, pelatih dan guru dapat memberikan penjelasan akan rule model atau peraturan yang berlaku dalam kompetisi, agar anak dapat mengikutinya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.

Banyak kegiatan yang dapat dijadikan ajang kompetisi untuk anak, seperti halnya belajar disekolah yang menggunakan sistem ranking, secara tidak langsung sebenarnya anak sudah mengikuti kompetisi untuk dapat menjadi juara kelas. Belakangan sistem rangking sudah ditinggalkan oleh bebrapa sekolah karena mempunya efek negatif akan sikap egoisme, merasa paling pintar, memandang bodoh teman yang berada dibawahnya, adalah efek negatif yang timbul dari anak yang mendapatkan rangking, meskipun tidak banyak atau tidak bisa di generalisasi.

Adapaun kegiatan kompetisi lainnya yaitu seperti bidang olah raga maupun kesenian. Lebih membangun kebersamaan dan saling empati dalam suatu tim serta pengakuan yang terlihat secara langsung dari apa yang ditampilkan atau dipertunjukan dalam lomba dengan catatan panitia fair dan tidak mempunyai agenda dibelakang kegiatan tersebut berlangsung, misalnya pesan-pesan sponsor atau donatur.

Dengan kompetisi diharapkan anak dapat belajar untuk :
1.Menumbuhkan jiwa sportivitas
Kompetensi yang bersifat individual ataupun berkelompok, pada dasarnya akan melahirkan sportivitas buat anak dan menumbuhkan sikap untuk sportif terhadap hasil atau jalanya kompetisi. Disini anak akan menghargai dan mengakui secara sportif atas kemenangan orang lain atau tim lain yang memang lebih baik dan lebih siap.

2.Melatih Team Work
Berkompetisi yang sifatnya kelompok, ternyata dapat mengajarkan kepada anak tentang pentingnya bekerja kompak dalam satu tim. Tidak boleh ada yang saling mendahulukan dalam satu tim, tapi bagaimana kerjasama tim dapat terbangun untuk menjadi yang terkompak bahkan bisa menjadi pemenang. Disini anak diajarkan untuk berbagi, bertenggang rasa serta ber-empati kepada sesama temannya serta bertanggung jawab atas kekompakan timnya, karena apabila sikap kerjasama tidak terbangun maka anak-anak akan menrasakan hasilnya yang tidak optimal, namun menang kalah bukan menjadi tujuan dalam team, yang penting adalah kerjasamanya.

3.Mengembangkan multiple Intelligent
Dimasa pertumbuhan, anak membutuhkan ruang untuk dapat meng-aktualisasi dirinya, bukannya hanya kemampuan kognitif (motorik halus dan kasar) tetapi juga sosio emosinya harus terbangun. Kompetisi merupakan salah satu kegiatan yang dapat menumbuhkan kemampuan tersebut. Yunita P. Sakul, Psi, Psikolog Essa Consulting Human Resources mengatakan “ Pada usia dini rasa ingin tahu anak sangat besar, dengan ego yang juga mulai berkembang. Hal ini mendorong anak untuk menjadi yang tercepat, atau yang terbaik dalam berbagai hal, sehingga kompetisi dapat mengembangkan pemahaman verbal (lingustic intelligent) serta kemampuan mengikuti aturan yang ada (moral intelligent)”.

4.Mengembangkan bakat dan ketrampilan
Kompetisi juga dapat dijadikan acuan atas apresiasi guru, pelatih dan orang tua untuk melihat bakat dan kemampuan anak yang dapat dikembangkan. Bakat dan kemampuan anak dalam bidang apapun, baik seni, ilmu pengetahuan dan olahraga dapat diapresiasi dalam ajang kompetisi yang merupakan media anak untuk menampilkan segala kebisa-annya. Banyak sudah contoh dimana orang-orang yang sukses juga adalah orang-orang yang berkompetisi dengan bakat dan ketrampilan yang dipunyainya.

Mari kita arahkan anak-anak kita menjadi anak- anak yang siap berkompetisi. Meski kalah hal ini menjadi satu pelajaran bagi anak untuk berusaha lebih baik lagi, dan apabila menang jadikan hal ini semangat untuk meningkatkan prestasi yang lebih baik lagi. Tidak ada anak yang tidak bisa, semua anak pasti bisa, asal kita sebagai guru dan orang tua dapat membantu mereka dalam menyiapkan dan mengarahkan bakat dan kemampuan yang dimiliki anak menjadi berkembang dan terarah.

Educare@bulletin edisi mei 2009

Saturday, December 26, 2009

Ayah Ibu Kompak, Anak Akrab.

Ayah Ibu Kompak, Anak Akrab.
Al Ghozali ra dalam kitab ihya ulumuddin 3/62 berkata :...Ketahuilah, sesungguhnya metode pendidikan anak merupakan suatu yang paling penting dan wajib. Anak adalah amanah orangtuanya. Hatinya suci merupakan permata yang paling berharga. Bila dibiasakan dan diajarkan kebaikan, maka ia akan tumbuh diatasnya, dan berbahagia didunia dan akhirat. Sebaliknya, bila dibiasakan dengan kejelekan dan dibiarkan seperti binatang maka ia akan sengsara dan binasa.
Disini Al Ghozali, melihat pentingnya dan wajibnya orang tua tahu akan metode pendidikan anak, bukan hanya sekedar sebagai orang tua biologis bagi anak, tetapi bagaimana orang tua mempunyai peranan yang lebih besar baik secara spiritual, psikis, peran dan pembentukan karakter anak .
Orang tua, ayah ibu, mempunyai keinginan anak yang sholeh. Bahkan prosesnya pun dimulai sebelum mereka menikah. Mereka akan memilih pasangan yang sholeh dan sholehah agar dapat melahirkan dan mendidik generasi yang baik, kemudian pada saat suami istri akan melaksanakan kewajibannya mereka pun berdoa agar mendapat anak yang sholeh; (Bismillah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari gangguan syaithon dan jauhkan syaithon dari apa yang Engkau anugrahkan kepada kami).
Bahkan dalam satu hadits dikatan bahwa nabi berkata : “Saya berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya kepada suatu apapun”.
Dari sini sebenarnya kekompakan orangtua, ayah ibu sudah dimulai. Kemudian bagaimana kekompakan diaplikasikan dalam pendidikan anak-anak. Kekompakan tidak akan terjalin apabila tidak ada komunikasi diantara ayah dan ibu, ayah inginnya A ibu inginnya B, sehingga anak tidak tahu mana yang akan dia ikuti, ayah atau ibu.
Komunikasi antara ayah dan ibu juga bukan hanya sekedar komunikasi yang lantas membagi wilayah antara mereka, ayah hanya mengkomunikasikan pekerjaan dan menyerahkan gajinya lalu ibu mengkomunikasikan pembelanjaannya dari gaji yang diterima dari ayah, tetapi hendaknya komunikasi yang terjalin adalah komunikasi yang holistik/menyeluruh tentang fungsi dan peranan serta tujuan dalam rumah tangga.
Kita sering mendengar tujuan dari ber-rumah tangga adalah membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, itu adalah outputnya, inputnya sebagaimana diatas tadi, di mulai dari memilih pasangan, artinya setelah itu ada proses yang harus dilakukan oleh ayah ibu untuk mencapai tujuan tersebut. Yang tidak boleh berhenti hanya pada tataran hasil diatas kertas, tapi bagaimana hasilnya dapat dirasakan oleh semua yang ada didalam rumah bahkan diluar rumah.
Kekompakan ayah dan ibu dalam berkomunikasi dalam hal fungsi dan peranan sejak awal ditetapkan bahwa ayah adalah pemimpin, dan ibu pendamping. Ayah adalah qowwam dalam rumah tangga, tapi peranan ibu tidak kalah pentingnya. Bahkan Ibu digambarkan sebagai madroshatin aulad.
Dalam hal apa saja ayah ibu harus kompak?
1. Fungsi, peranan dan kedudukan ayah ibu dalam rumah tangga.
2. Pola pendidikan anak
3. Tujuan dalam rumah tangga.
Bicara tentang poin 1 dan 3 bukan hanya untuk dikupas habis tapi sejauh mana ini menjadi bahan renungan kita sebagai orangtua, ayah ibu. Fungsi dan peranan ayah ibu dalam rumah tangga hendaknya tidak tergantikan atau diagntikan oleh siapapun, atau bertukar peran secara permanen ayah ibu, tetapi sudah harus jelas sejak awal fungsi dan peranan ayah ibu dalam rumah tangga yang mempunyai tujuan, bagaimana jika rumah tangga tidak punya tujuan?
Bagaimana tentang pola pendidikan anak?
Sebelumnya kita sebagai orang tua, ayah ibu, harus mengetahui model seperti apa kita ini dalam mendidik anak? Ibu Ratna Megawangi (pakar homeschooling), mengatakan ada tiga model orangtua, yaitu orangtua yang demokratis, orangtua yang otoriter dan orangtua yang serba boleh. Ketiga model ini akan sangat berdampak pada pola pendidikan anak pembentukan karakter anak.
Biasanya model orangtua yang bagaimana akan sangat mudah dirasakan oleh anak dan kita pun akan dapat melihat kepribadian anak tersebut. Jika model orangtua yang serba boleh maka anak akan terus menerus bergantung pada orangtuanya karena apa saja yang di-inginkan oleh anak, ayah ibu pasti akan memberikannya tanpa pertimbangan, tanpa menanyakan maksudnya, sehingga bahkan dalam perkembangannya cenderung anak akan mengakali ayah ibunya untuk memuaskan keinginannya.
Model otoriter, anak akan melakukan apapun berdasarkan “kata” ayah atau “kata” ibu, anak tidak diberikan kesempatan untuk menyatakan keinginan dan pendapatnya, semua serba apa yang sudah menjadi keputusan dan kemauan ayah ibu. Anak dari model orang tua seperi ini akan sangat sulit mengembangkan dirinya, yang ada dia akan berontak dan atau menjadi anak yang kurang percaya diri.
Model Demokratis, anak akan melakukan apa yang sudah menjadi keputusan bersama mereka, yaitu ayah ibu dan anak, anak dengan model orangtua seperti ini biasanya menjadi anak-anak yang mudah bergaul dengan orang lain, anak yang berani mengeluarkan pendapat dan bertanggung jawab serta secara sosial dia telah mendapatkan sosial skill dalam pembelajaran karakter yang didapat dari ayah ibu, yang dumulai dari rumah.
Ayah ibu kompak, anak akrab. Kekompakan orangtua akan sangat dirasakan kehangatannya oleh anak, anak akan akrab dengan ayah ibu. Anak tidak akan malu bertanya segala hal yang ingin dia ketahui karena ayah ibu memberi peluang dan kesempatan serta didengar. Keakraban yang terjalin antara anak dengan ayah ibu merupakan harga yang tidak ternilai, akan menimbulkan sensasi luar biasa dalam menghargai dan menempatkan posisi anak dalam porsi yang sesuai,ke-akraban bukan berarti anak akan “ngelunjak” terhadap orang tua, tapi ke-akraban adalah penghormatan anak terhadap orang tua dan sebaliknya.
Kekompakan ayah ibu mencerminkan kasih sayang mereka, dan kasih sayang bukan hanya dengan kata-kata tetapi perbuatan/tindakan. Para ayah ibu yang cerdas, yang saling menyayangi akan menyediakan waktu, memberi waktu dan muncul pada waktu yang tepat saat anak membutuhkan mereka dengan berbagai peran, Josh and Jim Wiedmann membagi peran ayah ibu kedalam 4 peran, yaitu :
• Pengasuh, dari lahir hingga anak berusia 7 tahun. Peran ayah ibu pada tahap ini adalah mengurus anak dengan membuat aturan, menyediakan rasa aman dan hadir bagi mereka
• Guru, dari anak usia 8 hingga 15 tahun. Ayah ibu harus mengajarkan iman, moralitas, kebajikan dasar kepada anak saat mereka bertumbuh dan masih tinggal satu rumah
• Mentor, dari anak usia 15 hingga 18 tahun. Pada tahap ini ayah ibu membantu dan mengarahkan anak yang sudah menjadi dewasa untuk bertanggung jawab secara moral pada pilihan-pilihannya.
• Sahabat, dari anak usia 18 hingga dewasa. Ketika landasan yang kokoh sudah terbentuk, anak akan mulai berfikir dan bertindak sebagai orang dewasa. Mereka akan meminta nasihat serta berteman dengan ayah ibu mereka.
Hal-hal kecil dalam persoalan pendidikan anak terkadang juga bisa menimbulkan konflik antara ayah dengan ibu atau ayah ibu dengan anak. Anak dalam usia perkembangannya yang semakin menuju masa dewasa muda, terkadang mempunyai keinginan atau kecenderungan yang berbeda dengan orang tua. Kita sebagai orangtua hendaknya merasa berbangga jika anak sudah punya pilihan-pilihan, tinggal bagaimana kita mengarahkan pilihan-pilihan anak tersebut sebagai bagian dari dukungan kita untuk menyiapkan anak menghadapi atau bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya dan masa depannya.
Anak yang akrab dengan ayah ibu, dia juga akan hangat dengan kawan dan lingkungannya. Anak akan mudah diterima lingkungannya atau anak juga akan cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Kita akan melihat apabila ayah ibu tidak kompak, anak juga akan bingung bahkan cenderung introvert karena tidak ada dukungan dari ayah ibu, sehingga dia tidak berani untuk bersosialisasi dan bergaul dengan teman atau lingkungannya, rasa takut atau malu akan memberatkan langkahnya untuk bersosialisasi bahkan juga akan berpengaruh dalam pendidikannya.
Cukup menarik apa yang menjadi moto dari ayah Edy, “Indonesia Strong From Home”, bahwa Indonesia yang kuat berasal dari rumah. Artinya peranan ayah ibu dalam rumah akan berpengaruh atau berdampak luar biasa untuk anak yang juga pada akhirnya untuk negara. Baik secara spiritual, emosional dan karakter anak menuju Indonesia gemilang.
Beberapa kiat agar ayah ibu kompak, yaitu :
1. Ciptakan lingkungan rumah yang kondusif dan keterbatasan fasilitas bukan merupakan kendala/hambatan.
2. Membangun hubungan komunikasi yang hangat/tidak kaku antara ayah ibu.
3. Satu kata dan tindakan atas keputusan-keputusan yang akan diambil.
4. Ayah ibu hendaknya bersifat ramah dan terbuka. Dll



Hal-hal yang akan dihasilkan dari Ayah ibu kompak, anak akrab, diantaranya :
1. Ayah ibu akan senantiasa menunjukan jalan Allah SWT kepada anak2nya melalui perkataan yang baik dan tindakan yang kongkrit.
2. Ayah ibu kompak akan senantiasa mendoakan anak-anaknya dalam setiap aktivitasnya.
3. Ayah ibu kompak akan menjadi semakin cerdas seiring dengan pertambahan usia anak-anaknya.
4. Ayah ibu kompak akan meminta pendapat anak-anaknya dan anak akan belajar untuk menyampaikan pendapatnya dan mendengar serta mungkin menerima pendapat ayah ibu atau orang lain.
5. Ayah ibu kompak akan menjadi sahabat anak-anaknya yang merupakan sebuah proses (tidak perlu berpura-pura menjadi sahabat), untuk lebih mengenal karakter anak-anak termasuk mengetahui selera dan kecenderungan mereka.
6. Ayah ibu kompak akan bertambah kasih sayangnya kepada anak dan saling menghormati, dan menempatkan cara berbicara dengan anak bukan kepada anak.
7. Ayah ibu kompak akan jujur dalam perkataan dan tindakan yang berpengaruh besar terhadap anak-anak.
8. Ayah ibu kompak akan memiliki kepekaan untuk mengetahui apa yang telah siap didengar oleh anak-anak.
9. Ayah ibu kompak akan memiliki anak yang hangat didalam rumah maupun di luar rumah.



Tidak ada kata terlambat untuk ayah ibu kompak agar anak menjadi akrab!.

Anak-anak ibarat kuncup bunga
bersemi dari hijau daun tetumbuhan kita
sejukanlah dengan embun kehidupan cinta
biar saat sinar lembayung sutra merekah
mekar bersama wewangian hari hari ceria

Anak-anak mengembangka laksana bunga
mahkotanya warna-warni memesona
mereka menghias taman kehidupan kita
belailah bersama semilir kelembutan jiwa
agar mereka menebarkan berjuta aroma

Anak-anak adalah biji-biji generasi
mereka trubus ditaman-taman negeri
gemburkan pijaknnya pada setiap jengkal kaki
pupuklah dengan segenap kesuburan hati
tengadahkan asa pada Ilahi
yang selalu menyertai
si buah hati.
(Shoim Anwar, sastrawan).


Syamsudin
School of Director IQRO’
Radio Islam Sabili, 15 Desember 2009