Thursday, December 31, 2009

Raport anak kita, bagaimana dengan raport kita?

Raport anak kita, bagaimana dengan raport kita?

Tahun pengajaran 2009/2010, semester pertama berakhir telah berakhir, ditandai dengan sebelumnya sekolah menyelenggarakan ulangan umum bersama atau ulangan semester dan dilanjutkan dengan pembagian raport sebagai tanda berakhirnya semester yang telah dijalani. Pembagian raport menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian orang tua, ada yang mensikapinya dengan cemas, ada yang biasa saja dan ada pula orang tua yang telah “siap” dengan hasil raport anak, bahkan ada yang tidak peduli dengan momen tersebut.

Guru pun juga menantikan hari special ini, ada yang telah punya rencana akan berlibur, ada yang akan menyiapkan rencana pembelajaran disemester berikutnya, bahkan ada pula yang tidak peduli selama ada buku paket atau modul. Tapi tidak sedikit pula guru yang segera melakukan pemetaan dan evaluasi atas nilai-nilai yang dicapai oleh murid-murid disemester pertama ini untuk perbaikan-perbaikan disemester kedua dalam hal pendekatan dan pengajaran, agar hasil yang didapat peserta didik atau anak-anak kita lebih baik dari semester pertama.

Anak-anak pun juga menantikan hari pembagian raport pastinya. Dengan segala antusiasmenya mereka ingin mengetahui hasil yang didapat dari mengikuti pengajaran dalam semester pertama. Beberapa anak ada yang berharap-harap cemas akan nilainya, adapula anak-anak yang tidak peduli dengan hasil raport dan ada anak-anak yang sudah merasa yakin akan mendapat nilai baik, tetapi banyak anak yang nothing to lose akan hasil yang akan didapat, tidak berharap apa-apa.

Raport, jika boleh dikatakan adalah bagian dari profil tentang orangtua, sekolah, guru dan anak-anak kita. Agar profilnya bagus bukan berarti kemudian dengan mudah guru akan memberikan nilai royal kepada seluruh anak agar dapat dikatakan sekolah yang bagus, guru yang hebat, anak yang baik dan orang tua yang baik. Disini tentunya ada proses, bagaimana komunikasi anak dengan orang tuanya, bagaimana guru memberikan pengajaran kepada muridnya, bagaimana kebijakan sekolah dengan segala dinamikanya dan bagaimana dengan anak-anak kita sendiri yang sampai saat ini masih merupakan objek dari produk pendidikan.

24 Desember 2009, tiga orang anak saya menerima raport. Sejak awal sebagai orang tua, saya mengatakan kepada anak-anak adalah “anak-anakku bukan nilai sempurna yang abi dan ummi mau, dan tidak harus kalian menjadi juara kelas , tapi abi dan ummi akan bangga jika nilai yang kalian dapat adalah atas hasil usaha belajar kalian dan tidak harus mendapat nilai 10 sepanjang kamu mendengarkan dan mengerti apa yang gurumu ajarkan dan bertanya apabila ada yang belum kalian mengerti”. Disini sepertinya saya tidak mendorong anak untuk menumbuhkan motivasi berprestasi, karena saya ingin motivasi tersebut datang dari mereka dan saya berharap mereka dapat mengambil keputusan untuk dirinya yang akan tergambar dalam nilai-nilai sementara di raportnya karena hasil sesungguhnya adalah masa depannya yang harus mereka pilih berdasarkan kesadaran dan keinginan serta bakat yang dimilikinya. Alhamdulillah sepanjang mereka bersekolah saya bangga dengan hasil yang didapat oleh anak-anak saya meski mereka bukan juara kelas tapi dari narasi raport yang ditulis oleh gurunya menggambarkan bahwa anak-anak saya secara umum dapat mengikuti pelajaran yang diajarkan.

Raport dalam sudut pandang orang tua adalah hasil evaluasi guru terhadap anak. Sehingga kadang orang tua mensikapinya dengan dengan berbagai bentuk seperti saya sebutkan diatas. Orang tua yang telah “siap” dengan hasil belajar anak, adalah orang tua yang bisa menerima apapun yang tertera dalam raport anak, apakah semua nilainya baik atau ada beberapa nilai yang masih kurang. Tinggal semangat untuk memotivasi anak dalam mempertahankan nilai yang sudah baik dan memperbaiki nilai-nilai yang belum tercapai atau melampaui standar ketuntasannya. Matematika biasanya yang difokuskan oleh orang tua, sedangkan pelajaran lain banyak sekali orang tua yang tidak memperhatikannya. Hal ini disebabkan matematika merupakan salah satu pelajaran yang akan di-uji secara nasional bersama bahasa indonesia dan sain untuk sekolah dasar dan bahasa inggris untuk sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.

Kecemasan orang tua terhadap hasil yang didapat anak bisa juga merupakan kecemasan dirinya yang tanpa sadar sebenarnya merupakan bagian dari pertanyaan dalam diri orang tua, bagaimana hasilnya? Apakah saya sudah maksimal mendampinginya belajar? Atau apakah gurunya sudah maksimal memberikan pengarajaran? Bagaimana dia belajar dirumah dan disekolah? Tapi kadang setelah raport diterima orang tua hanya sambil lalu saja dan bahkan tidak pernah mengevaluasi lebih lanjut atas hasil yang didapat anak. Bahkan ada pula orang tua yang cukup menandatangani daftar hadir pengambilan raport kemudian melihat nilai rapaort anak didepan guru tanpa komentar dan dan pertanyaan tentang anak, baik hasil raportnya maupun bagaimana anak dalam mengikuti pelajaran dikelas atau disekolah dan pergaulan bersama temannya. Kemudian pulang.

Setelah raport diterima, sampai dirumah disimpan dan tidak pernah kita mendiskusikannya bersama anak kita, atau memberikan pujian kepada anak apabila hasilnya baik. Hendaknya kita sebagai orang tua coba mencermati mana-mana dari banyaknya mata pelajaran yang telah dicapai dengan baik dan mana yang belum dicapai, untuk kita memberikan dorongan kepada anak kita agar semester selanjutnya dia akan mencapai hasil yang baik. Bahkan dari raport pula kita bisa melihat dimana kecerdasan anak kita. Howard Gardner dalam Multiple Inteligent memetakan ada 9 aspek kecerdasan dalam diri manusia, yaitu, Kecerdasan : (1) gambar/Visual; (2) interpersonal; (3) kinestetik/body-kinesthetic; (4) Bahasa/Verbal Linguistic; (5) Mengenal diri sendiri/Intrapersonal; (6) Musik/Musical Intelligence; (7) Alam/Naturalist; (8) Logika Matematika/Mathematic; (9) Spiritual/Existential. Mana-mana dari sembilan aspek kecerdasan tersebut yang dimiliki anak kita? Sudahkah kita minimal mengamatinya? Sudahkah kita memberi ruang untuk kecerdasan-kecerdasan tersebut berkembang maksimal bagi anak-anak kita? Apakah semua anak harus memiliki kecerdasan tersebut? Perlu diingat bahwa setiap anak mempunyai keunikan tersendiri, setiap anak berbeda dan setiap anak pasti mempunyai kelebihan masing-masing yang telah Allah takdirkan untuk mereka.

Pujian dan motivasi sangat diperlukan oleh anak, bukan tekanan dan paksaan bahwa anak harus mendapatkan semua nilai dengan hasil baik. Tidak ada anak yang sempurna tapi yakinlah bahwa semua anak bisa dan semua anak pasti juara. Gardner lebih lanjut mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai sembilan aspek kecerdasan dengan kadar yang bervariasi serta komposisi kecerdasan yang berbeda disetiap manusia dan seluruh aspek kecerdasan tersebut berada pada bagian otak yang berbeda yang dapat bekerja secara sendiri-sendiri atau bersamaan.

Pada saat saya menunggu gilran untuk dapat mengambil raport anak saya, ada orang tua yang mengeluhkan nilai-nilai anaknya terutama matematika. Ibu itu mengatakan bahwa dia lelah dan menyerah dengan anaknya, tidak tahu apa lagi yang akan dia perbuat. Saya tidak tahu apa yang ada dipikiran anak saya, pak? Kenapa hasilnya tidak bagus? Les matematika sudah, privat dengan berbagai macam metode matematika sudah, memanggil pakar matematika sudah, apa yang kurang coba pak? Bahkan anak ini sudah mulai berbohong, bilangnya les ternyata tidak, dia ini inginnya main dan saya tidak tahu siapa saja temannya. Ayahnya dulu selalu juara kelas bahkan sampai mendapat beasiswa kuliah keluar negeri. Saya dan ayahnya ingin memindahkannya kesekolah lain saja pak, bu.

Orang tua ini (mohon maaf) mungkin lupa bahwa pelajaran disekolah bukan hanya pelajaran matematika masih ada pelajaran-pelajaran lain dan kecerdasan lainnya yang dimiliki anak yang tidak diketahui oleh orang tuanya. Disisi lain ibu itu menyatakan kebanggaannya kepada anak tesebut bahwa anak anak tersebut secara visual sangat menonjol, dan banyak teman, minimal anak tersebut sudah mempunyai lebih banyak kecerdasan dari pada matematika yang menjadi momok bagi orang tua.

Waduh kalo ibu menyerah, bagaimana dengan anak ibu? Kemudian banyak pertanyaan muncul dalam benak saya, Sudahkah kita mendoakannya? Bagaimana keakraban kita sebagai orang tua? Sehangat apa kita dirumah? Sedekat apa dan bagaimana komunikasi kita dengan anak? Dan banyak pertanyaan lainnya yang berkelebat dalam fikiran saya.
Kemudian saya (sebagai orang tua dan juga school of director disekolah ini) dan gurunya mendiskusikan sebentar tentang anak tersebut bersama orang tuanya. Pada dasarnya, dalam sudut pandang saya tidak ada yang salah dengan anak ini, begitu juga gurunya. Bahkan sekolah beserta gurunya sudah melakukan pendekatan secara personal tentang anak ini, tapi memang anak tersebut belum terbuka, baik dengan gurunya atau dengan guru lain yang diminta membantu permasalahan anak tersebut. Sekolah bahkan sudah menjadwalkan untuk melakukan obsevasi secara personal bersama psikolog sekolah tentang anak ini, termasuk orang tua nya juga akan dijadwalkan. Setelah ibu tersebut pulang, saya dan gurunya mendiskusikan bahwa ada nilai-nilai pelajaran lain yang hasilnya baik, yang belum sempat dilihat oleh orangtuanya karena terbatasnya waktu pengambilan raport. Dan mungkin juga ada harapan-harapan yang besar dari orang tua terhadap anak tersebut agar seperti ayahnya, dan satu hal anak tersebut juga sedang dalam masa menuju masa pubertasnya.

Beberapa catatan dari pembicaraan ini mudah-mudahan menjadi pengayaan yang akan membantu “permasalahan” yang akan segera di follow up oleh konsultan pendidikan anak tersebut disekolah sekaligus bahan evaluasi saya sebagai orang tua dan school of director IQRO’.

Raport...raport..raport! mengapa menjadi momok bagi sebagian orang tua? Adakah yang salah dengan raport? Mengapa selalu anak yang menjadi fokus pertanyaan dari raport? Bagaimana dengan kita sebagai orang tua? Sudahkah kita memeriksa dan mengamati raport kita sendiri? Sudahkah kita memberikan raport untuk guru dan sekolah anak-anak kita? Ternyata bukan hanya raport anak kita yang harus kita cermati tapi bagaimana raport kita sendiri sebelum kita mencermati raport anak kita, raport guru dan sekolah anak kita.

Jakarta, 31 Desember 2009.

No comments:

Post a Comment